Setelah tugas akhir — baik yang berupa skripsi, tesis, atau disertasi, barangkali tes kemampuan berbahasa asing (TOEFL) adalah momok bagi para mahasiswa perguruan tinggi yang berikutnya.
Saking sulitnya, banyak di antara mereka yang gagal hingga harus mengulang beberapa kali. Bahkan beberapa di antaranya sampai menggunakan jasa orang lain untuk mengerjakan tes tersebut.
Di Yogyakarta, beberapa tahun silam, dikisahkan seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri hendak mengikuti tes TOEFL. Tes tersebut merupakan tes kesepuluh yang diikutinya.
Sembilan tes sebelumnya sudah dia lalui namun selalu saja gagal. Padahal dia tidak pernah malas mempelajari materi tesnya itu. Tiap hendak mengikuti tes pun dia selalu sowan kepada gurunya. Minta didoakan supaya diberi kelancaran mengerjakan ujian.
Sepertinya ungkapan “orang pintar kalah dengan orang mujur” berlaku untuk orang tersebut.
Semakin sering dia sowan kepada gurunya itu, semakin bertambah pula rasa malu yang harus ditanggungnya. Bagaimana tidak, sembilan kali minta doa dan restu agar dimudahkan ujiannya, sembilan kali pula dia mengalami kegagalan.
Menginjak tes yang kesepuluh, meski sudah menanggung malu, dia tetap memberanikan diri untuk sowan menemui gurunya. Dia menyampaikan kembali hajatnya yang belum kesampaian itu.
“Sebenarnya saya agak malu menyampaikan ini kepada ibu. Tapi mau bagaimana lagi. Saya tidak boleh menyerah. Seperti yang sebelum-sebelumnya, tujuan saya sowan kali ini hendak minta doa dan restu lagi supaya ujian saya dimudahkan,” katanya sambil senyum-senyum.
Sambil terkekeh, gurunya pun menjawab: “Tidak apa-apa nduk. Tidak perlu malu. Sebab kalau untuk urusan malu sebenarnya ibu lah yang seharusnya malu. Bayangkan saja, sudah sembilan kali dimintai doa sama muridnya kok belum tembus juga. Jangan-jangan doanya ibu yang susah terkabulkan.”
Konon, setelah tesnya yang kesepuluh, mahasiswi itu tidak sowan lagi. Dan ibu guru tersebut adalah ibu saya.
*Tulisan ini pertama kali diunggah di halaman facebook saya.
