Inan
4 min readAug 29, 2021

Menghadapi Pandemi Dengan Waduh dan Hadeh

Mural “Tuhan, Aku Lapar” di Tangerang sebelum dihapus oleh petugas. Sumber gambar: https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2021/07/26/grafiti-tuhan-aku-lapar-di-tigaraksa-tangerang-sebelum-dihapus-petugas_43.jpeg?w=700&q=90

Jika dihitung, pandemi yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung selama satu tahun lebih lima bulan. Dan sampai detik ini, tanda-tanda wabah akan segera berakhir belum tampak juga.

Hampir setiap hari grup WhatsApp maupun lini masa Facebook saya diisi dengan kabar duka. Entah itu dari keluarga, teman dekat, maupun kenalan.

Minggu kemarin saya menerima kabar lelayu selama empat hari berturut-turut. Sedangkan di kampung sebelah, berita duka disiarkan sebanyak delapan belas kali hanya dalam waktu sepekan.

Berbagai macam upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan kenaikan kasus. Kabar terakhir, pemerintah menambah durasi PPKM hingga akhir bulan Agustus. Apakah setelah ini masih ada perpanjangan lagi atau langsung adu pinalti? Saya tidak tahu.

Sementara pemerintah sibuk dengan kebijakan PPKM yang konon tak kunjung selesai revisinya itu, sebagian orang (setidaknya yang saya kenal) sudah sampai pada titik nadirnya.

Banyak di antara mereka yang sudah terlanjur putus asa. Mereka tidak hanya kehilangan sanak-saudara dan penghasilan saja, namun juga kehilangan dorongan untuk bertahan hidup. Akibatnya, satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan saat ini hanyalah berkeluh-kesah.

Iya, keluh-kesah yang membawa energi negatif itu; keluh-kesah yang katanya tidak akan menyelesaikan masalahmu; keluh-kesah yang hanya akan memperburuk situasi yang sedang kamu jalani.

Akan tetapi, menurut saya berkeluh-kesah di waktu pandemi bukanlah aib. Justru di masa seperti ini mengeluh merupakan tindakan yang manusiawi.

Setelah babak-belur menghadapi berbagai macam tekanan selama pandemi, apa salahnya mengeluarkan uneg-uneg? Jangankan di waktu darurat, pada hari biasa pun kita sering melakukannya — terutama sewaktu berdoa kepada Tuhan.

Menurut pakar sendiri, kegiatan mengeluh tidak selamanya negatif. Ketika dilakukan dengan benar, mengeluh ternyata memiliki dampak positif.

Pada tahun 2014, Robin Kowalski — seorang profesor psikologi dari Universitas Clemson, Amerika Serikat, beserta beberapa rekannya menerbitkan hasil studinya dengan judul Pet Peeves and Happiness: How Do Happy People Complain? di The Journal of Social Phsycology.

Penelitian itu melibatkan 410 peserta yang terdiri dari mahasiswa laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian itu mereka diminta untuk membuat daftar kekesalan yang mereka pikir sangat menjengkelkan bagi mereka namun terasa biasa saja bagi orang lain, yang pernah mereka alami bersama dengan pasangan atau mantan mereka.

Para peserta juga diminta menyelesaikan kuesioner dengan tujuan untuk mengukur kebahagiaan, pengaruh positif dan negatif, depresi, perhatian, kepuasan hubungan, serta kepuasan hidup mereka secara keseluruhan.

Hasilnya, mereka yang mengeluh dengan harapan “mencapai hasil tertentu” cenderung lebih bahagia daripada mereka yang hanya menyimpan keluhannya.

“Alasan paling umum mengapa orang-orang mengeluh adalah untuk memperoleh simpati dan perhatian. Sejujurnya, semua orang pernah melakukan itu.” Demikian kata Kowalski.

Selama pandemi ini saya sering melihat simpati dari warga untuk warga justru bermunculan setelah keluhan-keluhan mereka viral di sosial media. Banyak yang kemudian berinisiasi mendirikan dapur umum, menjadi relawan, hingga memberikan bantuan kepada kelompok rentan.

Andaikan tidak ada yang menyuarakan hal tersebut, tentu kita akan beranggapan bahwa kondisi mereka baik-baik saja.

Selain itu mengeluh juga menjadi salah satu cara untuk mengetahui bahwa ada yang sedang tidak beres dalam sistem pemerintahan kita. Kita tentu masih ingat ketika beberapa bulan yang lalu publik digegerkan dengan paket bansos kementrian sosial senilai 300 ribu rupiah.

Saat itu banyak warga mengeluh soal kualitas sembako yang mereka terima. Katanya, isi paket sembako tersebut tidak setara dengan nilai yang dianggarkan. Tak lama kemudian, KPK mengungkapkan bahwa bantuan sosial itu ternyata dimaling oleh menterinya.

Menteri yang teriakan anti-korupsinya paling kencang itu justru menerima fee sebesar 10 ribu rupiah untuk setiap paket bansos sembako. Ironisnya, setelah maling uang rakyat sebanyak 14.5 miliar rupiah, dia meminta hakim untuk membebaskannya dari vonis hukuman. Sungguh tak tahu malu!

Mengeluh juga membantu kita menyalurkan emosi negatif — terlebih jika kita pernah mengalami trauma. Barbara Held, seorang profesor psikologi di Bowdoin College, mengatakan bahwa menahan keluhan justru memiliki dampak negatif pada kesehatan fisik dan mental kita. Ibarat bom waktu, ia bisa meledak kapan saja.

Maka dari itu kita harus belajar untuk memberitahu teman dan keluarga kita saat sedang kesal. Jika tidak, kita akan berakhir menanggung rasa sakit sendirian.

James Pennebaker, seorang psikolog sosial di University of Texas yang mempelajari penggunaan tulisan sebagai alat terapi, menemukan bahwa seseorang yang selamat dari peristiwa traumatis di masa lalu mengalami peningkatan kesejahteraan baik secara fisik maupun mental setelah mereka menyalurkan perasaannya melalui tulisan.

Tak hanya membantu kita untuk fokus, mengungkapkan perasaan melalui tulisan juga membantu kita mengatur pengalaman serta menghasilkan pemahaman yang lebih besar tentang apa yang terjadi dan bagaimana mengatasinya.

Lantas, bagaimana caranya menyampaikan keluhan dengan benar?

Selain tahu kapan dan kepada siapa kita harus mengeluh, kata Kowalski sebaiknya kita juga menggunakan fakta dan logika, mengerti seperti apa hasil yang kita inginkan, serta memahami siapa yang memiliki wewenang untuk mewujudkannya.

Walau demikian, saya tetap pesimis pemerintah di negara Wakanda ini mau mendengarkan keluhan warganya setelah melewati beberapa persyaratan di atas.

Bagaimana tidak. Keluhan setiap hari kamis yang digelar di depan Istana Negara selama bertahun-tahun saja tidak pernah digubris. Kritik dengan data dan argumen pun tak didengarkan. Bahkan, mereka yang pada akhirnya mengekspresikan keluhannya melalui mural justru diburu.