Eric Arthur Blair atau yang lebih dikenal dengan nama pena “George Orwell” adalah salah satu penulis terpenting Inggris pada abad ke-20.
Karya-karyanya tidak hanya dibaca dan dibicarakan oleh golongan sebangsanya saja melainkan juga oleh orang-orang dari belahan bumi yang lain.
Ia terutama terkenal melalui dua novelnya: Animal Farm dan 1984. Louis Menand, dalam artikelnya di The New Yorker, bahkan menulis bahwa 1984 masih tetap layak untuk dibaca sampai sekarang.
Sebabnya: beberapa ramalan Orwell dalam novel tersebut benar-benar terjadi. Untuk saat ini salah satu contoh terbaiknya ialah ketika negara terlalu sibuk memata-matai dan mengatur segala perilaku warganya sampai pada wilayah privat, sebagaimana yang tertulis dalam 1984.
Selain sebagai penulis novel, Orwell juga berprofesi sebagai seorang wartawan, penulis esai, prosa, dan pengulas buku. Hampir sepanjang hidupnya ia habiskan dengan menulis. Pekerjaan menulisnya yang lama dan mengagumkan itu tercatat memiliki pengaruh besar dalam kesusasteraan Inggris.
Pada hari menjelang wafatnya, seorang kritikus sastra bernama Desmond MacCarthy memberikan ucapan kepadanya: “Anda telah menorehkan tanda yang tidak terhapuskan pada kesusasteraan Inggris. Anda adalah satu dari beberapa penulis yang mengesankan dari generasi anda.”
Lalu, apa yang sebenarnya menyebabkan Orwell menjadi salah satu penulis terbaik di masanya?
Selain konsistensinya dalam menulis (itu sudah jelas dan dibuktikan melalui ribuan lembar tulisannya), saya pikir salah satu jawabannya ialah karena komitmen Orwell terhadap keadilan.
Dalam Why I Write, sebuah esai yang menurut saya merupakan semacam autobiografi, Orwell bercerita bahwa tulisan-tulisannya selalu diisi dengan ekspresi penolakannya terhadap totalitarianisme dan imperialisme. Baginya, keberpihakan serta perlawanan atas ketidakadilan menjadi titik tolaknya dalam menulis.
Orwell sendiri lahir di Bengal, India pada tahun 1903. Ayahnya, Richard Walmesley Blair adalah seorang pegawai layanan sipil.
Orwell hidup pada masa ketika abad 20 mencapai puncak kegilaannya. Fasisme tumbuh subur di Eropa dan sepanjang hidupnya, dua kali perang besar (Perang Dunia I & II) terjadi hanya dalam selisih 21 tahun.
Pada bulan Desember tahun 1936, ia sempat bergabung dengan pasukan Republik ketika Perang Saudara di Spanyol terjadi. Sebuah perang yang pecah setelah Jenderal Franco memimpin operasi militer untuk mengkudeta pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan sah.
Di sana Orwell terlibat langsung dalam peperangan di garis depan.
Sebagai seseorang yang telah melewati berbagai macam peperangan dengan segala kekacauannya, tentu saja Orwell menyaksikan sendiri bagaimana keadilan menjadi barang mahal selama masa perang.
Oleh sebab itu ketika ia duduk dan mulai menulis sebuah buku, ia menyadari bahwa ia tidak sedang menciptakan suatu karya sastra. Lebih jauh, ia menulis sebab memiliki dorongan kuat untuk menyingkap suatu kebohongan; bahwa ada suatu fakta yang selama ini ditutup-tutupi yang hendak ia tampilkan.
Dan bagi Orwell, hal yang paling penting adalah bagaimana ia bisa membuat tulisannya didengarkan. Itu sebabnya Orwell dikenal sebagai seorang penulis yang menulis dengan bahasa konkret serta kalimat sederhana tapi lugas.
Meskipun demikian, sikapnya tidak muncul begitu saja. Awal mulanya Orwell tidak jauh berbeda dengan para penulis pada umumnya. Ia tertarik untuk menulis novel-novel tebal yang berujung tragis, penuh dengan gambaran panjang lebar, juga kiasan yang mempesona; di mana kata-kata dipilih hanya karena suaranya.
Pada awal karir kepenulisannya, Orwell menulis sebab terdorong atas tiga hal, yakni: ego, antusiasme estetis, dan motif historis.
Ia mengatakan bahwa tiap-tiap penulis sebenarnya tak jauh berbeda dengan cendekiawan, politisi, pengacara, pengusaha, atau berbagai macam profesi orang pada umumnya. Mereka adalah orang-orang yang bergembira jika dibicarakan oleh orang lain.
Egonya akan menggelembung jika mereka mendapatkan pujian sebab kecerdasannya, lalu merasa bahwa dikenang karena adanya tinggalan semasa hidupnya adalah hal terbaik yang muncul setelah kematian menjemput.
Kata Orwell, omong kosong jika ini bukan alasan yang kuat untuk menulis.
Adapun mengenai antusiasme terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan estetika, Orwell menuturkan bahwa pada dasarnya hal ini berkaitan dengan kebiasaan seorang penulis dalam menyusun ritme, keselarasan, dan pemilihan diksi pada tiap paragrafnya.
Sedangkan perihal motif historis, ialah ketika seorang penulis melihat berbagai macam hal secara netral dengan tujuan menggali kenyataan yang sebenarnya lalu disimpan untuk bekal di kemudian hari.
Namun, faktanya ketiga motif di atas tidak lah cukup. Terlebih untuk seseorang yang hidup pada saat perang berkecamuk seperti dirinya. Mengapa? Sebab ketiga dorongan itu justru membuat dirinya tidak mampu memahami ke arah mana keberpihakannya jatuh.
“Andai hidup pada masa damai, mungkin saja saya akan menulis novel yang berbunga-bunga dan mengandung terlalu banyak deskripsi, dan saya mungkin tidak akan menyadari ke mana loyalitas politik saya terarah. Akan tetapi, Perang Spanyol dan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi sepanjang tahun 1936–1937 menjadi penentu dan setelah itu saya mengerti posisi saya,” tulisnya.
Ia pun menyadari bahwa motif politik menjadi penting; di mana seorang penulis memiliki keinginan untuk mendorong dunia di sekelilingnya ke suatu arah tertentu, untuk mengubah pandangan masyarakat tentang peradaban macam apa yang mereka inginkan.
Orwell juga menegaskan bahwa tidak ada karya tulis yang benar-benar mampu terbebaskan dari bias politik. Bahkan, menurutnya, pendapat yang mengatakan bahwa kesenian tidak berhubungan dengan politik adalah sikap politik itu sendiri.
Jika kita mau mencermati, kita akan menemui motif yang terakhir itu menjadi alasan kuat Orwell dalam menulis.
Coba saja anda tengok dalam dua novelnya yang telah saya sebutkan di atas serta esai-esainya yang lain seperti Marrakesh, Shooting an Elephant, dan A Hanging. Ada banyak kebohongan yang Orwell singkap di sana.
Pada ujung tulisannya, laki-laki yang pernah menggelandang di Paris dan London itu mengatakan:
“Hanya ketika tidak memiliki sikap politik lah saya menulis buku-buku tak bernyawa dan terpeleset ke kalimat-kalimat berbunga-bunga tanpa makna, adjektiva tanpa guna, dan omong kosong pada umumnya.”