Berhenti Merokok

Inan
4 min readJun 23, 2022

--

Sampai akhir tahun 2020, saya adalah seorang perokok aktif. Hampir setiap hari saya menghabiskan sebungkus Gudang Garam Filter dan jika sedang melakukan aktivitas yang menuntut otak untuk bekerja lebih keras (seperti ketika sedang membaca atau menulis sesuatu), saya bisa merokok lebih banyak lagi.

Kebiasaan merokok baru berhenti pada awal tahun 2021 ketika saya sakit tifus. Sebenarnya kata “berhenti” kurang tepat untuk menggambarkan maksud saya. Sebab, sepemahaman saya kata “berhenti” biasa digunakan untuk menggambarkan suatu proses yang sudah tidak bisa dilanjutkan lagi. Seperti ketika kamu memutuskan untuk berhenti menghubungi seseorang karena dia sudah menjadi milik orang lain. Sementara keputusan saya untuk tidak merokok masih memiliki kemungkinan dilanjutkan kembali.

Mungkin, kata “jeda” lebih tepat untuk menggambarkan keputusan saya ini. Walaupun begitu saya akan tetap menggunakan kata “berhenti” dalam tulisan ini karena saya berharap dapat berhenti merokok sampai seterusnya.

Saya masih ingat hari-hari di mana saya berhenti merokok. Waktu itu bulan Januari. Bulan yang dingin dan murung. Curah hujan sedang mencapai puncaknya. Pesimisme orang-orang mengenai kapan wabah akan segera berakhir belum juga turun. Kabar duka dari saudara dan orang-orang terdekat datang silih berganti.

Tujuh hari setelah wafatnya pakde saya jatuh sakit. Awal mulanya saya mengira saya terjangkit wabah karena saat itu saya mengalami demam tinggi. Orang-orang rumah menganjurkan saya pergi ke dokter. Bahkan, salah satu kakak saya memaksa saya untuk segera melakukan uji usap. Khawatir jika ibu saya tertular.

Setelah dua kali cek medis, dokter memastikan bahwa saya terkena tifus — bukan terinfeksi virus corona. Selama satu minggu saya terkulai lemas di atas tempat tidur ditemani obat-obatan.

Hampir setiap malam badan saya menggigil dan baru reda di pagi hari. Dokter menyarankan saya untuk menghindari jenis makanan yang mengandung santan, pedas, atau asam, dan tentu saja menghindari rokok.

Tidak merokok dalam kondisi seperti ini adalah perkara mudah karena dengan sendirinya perut saya akan terasa mual jika saya memaksakan diri menghisap rokok.

Saya kemudian teringat salah satu lelucon yang sering dikatakan oleh para perokok. Kata mereka, merokok adalah salah satu tanda bahwa seseorang sehat secara jasmani. Buktinya, orang yang badannya sakit-sakitan tidak merokok.

Setelah sembuh saya lantas bertanya kepada diri saya sendiri: “Mumpung sudah tidak merokok selama seminggu, bagaimana kalau dilanjutkan? Kira-kira bakal tahan berapa bulan?” Begitulah awal mulanya saya berhenti merokok.

Pada masa-masa awal berhenti merokok saya sering merasa kebingungan. Hal ini disebabkan karena saya kehilangan rutinitas. Biasanya setelah makan atau ketika sedang berada di WC saya ditemani oleh rokok.

Bagi saya, sebatang rokok benar-benar terasa nikmat pada kedua momen tersebut. Andaikan perokok paling bijak sedunia membaca pernyataan ini, saya yakin dia pun akan mengamininya.

Untuk mengalihkan keinginan saya dari merokok saya mencoba hal lain. Ketika sedang bingung atau sedang tidak melakukan apa-apa saya memakan camilan. Berat badan saya sempat naik beberapa kilogram.

Namun, saya teringat cerita seorang teman. Katanya dia memiliki kenalan yang berhenti merokok kemudian beralih pada permen tetapi justru terkena diabetes. Saya hanya membatin: “Keluar dari mulut buaya masuk mulut singa kalau begitu.”

Berhenti merokok ternyata bukan perkara gampang. Pada sebuah kesempatan Gus Mus pernah duduk satu majelis dengan seseorang yang sudah berhenti merokok selama bertahun-tahun namun masih sering terbawa dalam mimpi. Gus Mus memakluminya karena berhenti merokok memang sulit. Saya mendapatkan cerita ini dari seorang kawan yang kebetulan masih memiliki hubungan saudara dengan beliau.

Kata kawan saya lagi, Gus Mus memiliki cara yang unik untuk mengatasi keinginannya merokok. Dulu, ketika Gus Mus sedang mulai berhenti merokok, setiap kali beliau ingin merokok beliau mengambil sebatang rokok dari bungkusnya lalu berlama-lama melihatnya. Beliau kemudian menghisapnya dalam-dalam tanpa menyalakannya. Setelah itu beliau mengembalikan rokok tersebut ke dalam bungkusnya. Beliau melakukan hal ini selama berbulan-bulan.

Saya mencoba apa yang pernah dipraktekkan oleh Gus Mus dan dalam tahap tertentu saya berhasil melakukannya.

Sebenarnya beberapa tahun yang lalu saya sempat berhenti merokok karena infeksi saluran pernafasan. Waktu itu saya berhasil berhenti selama satu bulan. Namun, godaan teman saya terlampau kuat.

Di kantin fakultas kami, pada suatu pagi selepas sarapan, dengan santainya dia menyalakan sebatang rokok Gudang Garam lalu menyodorkannya kepada saya. Walhasil, saya pun menghisapnya. Siapa yang bisa menolak sebatang rokok yang dinyalakan sesaat setelah makan? Gratis pula.

Orang pertama yang paling berbahagia mendengar kabar bahwa saya berhenti merokok adalah ibu saya. Setelah mengucapkan hamdalah (dengan huruf “a” yang ditarik memanjang), beliau mengatakan bahwa lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan lain daripada dibakar untuk rokok.

Beliau adalah orang yang paling peka bila di rumah ada anak-anaknya yang merokok meskipun itu terjadi setengah atau sejam sebelumnya. Dulu, saat masih awal-awal belajar merokok, saya dan adik saya sering merokok di kamar atas secara sembunyi-sembunyi. Kami berdua melepaskan baju kami agar tidak terkena asap rokok. Akan tetapi ibu saya tetap mengetahuinya dan setelah itu beliau mengomel tanpa henti.

Sebagian teman pernah bertanya kepada saya adakah kemungkinan bagi saya untuk merokok lagi. Saya menjawab: “Dalam beberapa kondisi, iya.” Salah satunya sewaktu saya tak lagi bisa menyelesaikan tulisan tanpa ditemani asap rokok.

Saya pernah punya anggapan bahwa saya tidak akan bisa menulis tanpa merokok. Namun, sampai tulisan ini selesai diketik, saya masih sanggup untuk tidak merokok dan saya baik-baik saja.

Kini, setelah belasan bulan tidak merokok saya merasakan sedikit perubahan pada fisik saya. Sekarang tarikan nafas saya menjadi lebih panjang dan dada saya terasa lebih ringan. Terutama setelah bangun tidur. Demikian pula dengan bibir saya yang tak sehitam dulu sewaktu saya masih merokok.

Selain itu saya juga menemukan pelajaran bahwa ternyata kamu tidak perlu alasan besar untuk memulai atau berhenti dari sesuatu. Benar kata Pram. Hidup itu sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.

Berhenti merokok memang bukan sesuatu yang luar biasa. Di luar sana masih banyak pencapaian lain yang lebih membanggakan semisal punya gaji dua digit atau punya rumah mewah sebelum umur 30 tahun.

Meskipun demikian, saya tetap memiliki harapan bahwa calon istri saya nanti bisa melihat hal ini sebagai salah satu di antara sedikit kelebihan yang saya miliki. Dan kalau pun tidak bisa dianggap sebagai sebuah kelebihan, semoga saja dia tidak melihatnya sebagai kekurangan.

--

--